Pages - Menu

Minggu, 13 November 2016

Merangkum Artikel "MODEL PENGENDALIAN TERPADU VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA SALATIGA"

PENGANTAR
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan angka kematian tinggi (Suroso, 1997). Kejadian Luar Biasa tertinggi terjadi pada tahun 1998 di Jakarta dengan Incidence Rate (IR) 35,19 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2%. Sebagian besar wilayah di Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit DBD dikarenakan virus penyebab (dengue) maupun nyamuk penularnya yaitu Ae. aegypti dan Ae. albopictus tersebar luas di perumahan maupun di tempat-tempat umum (WHO, 2003).
Propinsi Jawa Tengah sampai dengan akhir 2005 menduduki peringkat ke-5 tingkat kepadatan penduduk di Indonesia dengan rata-rata arus urbanisasi mencapai 47.995 jiwa. Sebagian besar kota-kota di Jawa Tengah berada di kawasan dengan ketinggian 0,75-348m di atas permukaan laut dan kelembaban udara berkisar 62-84%. Kota Salatiga merupakan salah satu kota di Jawa Tengah dengan tingkat endemisitas tinggi ditunjukan dengan Angka Kematian/Case Fatality Rate (CRF) pada tahun 2008 sebesar 1,39% pada 72 kasus, tahun 2009 CFR 0,92 % pada 109 kasus dan pada tahun 2010 terdapat 155 kasus dengan 0% CFR. Berdasarkan pengamatan Angka Bebas Jentik (ABJ) diketahui sebesar 91, 92, 91 dan 89,1% pada tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010 secara berurutan (Dinkes Salatiga, 2011). Dilaporkan bahwa 34% populasi nyamuk Ae. aegypti ditemukan di lingkungan perumahan, 37% di sekolah dan 29% di tempat-tempat umum (Depkes RI, 1992).
Program pemberantasan DBD masih didasarkan atas pemutusan rantai penularan sebab virus dengue sampai saat ini belum ditemukan obat dan vaksinnya sehingga pengendalian ditujukan terhadap vektornya. Berdasarkan hasil penelitian mengenai status kerentanan vektor DBD di Propinsi Jawa Tengah dan DIY, dilaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti di Kota Salatiga masih rentan/susceptible terhadap Insektisida sipermetrhin, (Widiarti, 2010) pemilihan hospes dan kebiasaan menggigit orang (antropofilik) di dalam rumah dan beristirahat di tempat-tempat gelap (fototropi negatif)’ lembab serta daya predasi M. aspericornis terhadap jentik nyamuk Ae. aegypti pada tempat penampungan air (air ledeng) berkisar antara 77,77%-99,34% dan pada air sumur berkisar antara 97,32%-100% (Yuniarti, dkk, 1995), maka menjadi alternatif pengendalian nyamuk vektor DBD secara terpadu berupa pengendalian larva secara hayati menggunakan M. aspericornis dan pemakaian gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulosa sebagai media slow release.

Waktu dan Tempat Penelitian :
Waktu : 12 bulan pada tahun 2012
Tempat : Benoyo Kelurahan Kutowinangun Kota Salatiga Propinsi Jawa Tengah dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga

Bahan Penelitian yang digunakan penulis dalam artikel ini adalahsebagai berikut :
Larva Ae.aegypti berasal dari lokasi penelitian dan hasil pemeliharaan di laboratorium B2P2VRP. 
Telur dan jentik nyamuk dari lokasi penelitian dipelihara di laboratorium B2P2VRP Salatiga hingga menjadi stadium dewasa untuk digunakan sebagai bahan pengujian gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulose.
Jazad hayati yang digunakan teliti adalah M. aspericornis sebagai predator jentik nyamuk. Jasad hayati tersebut diperoleh dari hasil pemeliharaan dan pengembangan di laboratorium B2P2VRP, Salatiga.

Adapun cara kerjanya sebagai berikut :

a. Persiapan: pembuatan gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulose 0,1%
b. Pengamatan dan pengukuran indikator entomologi DBD
c. Aplikasi M. aspericornis
d. Aplikasi gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulose
e. Pengujian efikasi gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulose

Hasil Penelitian :
Pengendalian terpadu melalui aplikasi M. aspericornis dan gorden berinsektisida sipermethrin 10EC, dosis 0,5gram b.a/m2 plus etil sellulose 0,1% dapat meningkatkan angka bebas jentik dan menurunkan ovitrap indeks. Daya efikasi gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulose efektif terhadap nyamuk Ae. aegypti. Disarankan  untuk melakukan pencelupan gorden dengan insektisida sipermethrin plus etil sellulosa setiap 3 bulan sekali dan mengembangbiakan M. aspericornis secara mandiri pada kelompok-kelompok potensial yang ada di masyarakat setempat dalam rangka pengendalian nyamuk vektor DBD.

KESIMPULAN
Masih maraknya kasus DBD yang terjadi dan meresahkan masyarakat sebenarnya dikarenakan program pemberantasan DBD yang masih belum efektif. Karena Program pemberantasan DBD ini masih didasarkan atas pemutusan rantai penularan, mengapa pemutusan rantai penularan? Sebab virus dengue sampai saat ini belum ditemukan obat dan vaksinnya sehingga pengendalian ditujukan terhadap vektornya yaitu nyamuk Ae. Aegypti. Metode penelitian ini bertujuan untuk mengurangi kasus DBD yang terjadi dengan menyerang vektor DBD, caranya dengan pembuatan gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulose 0,1% yang efektif terhadap nyamuk Ae. Aegypti.
(Salatiga, 2010) 

DAFTAR PUSTAKA
Salatiga, D. I. K. (2010). MODEL PENGENDALIAN TERPADU VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE, V(1), 1–6.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar